BUDAYA kekerasan di kalangan siswa, menodai dunia pendidikan.
Kekerasan ibarat sudah mendarah daging, bahkan sampai ke tingkat Sekolah
Dasar (SD). Sungguh mengerikan fenomena ‘homo homini lopus’ atau
‘manusia menjadi srigala terhadap sesamanya’ kini menggejala di kalangan
generasi muda.
Aksi kekerasan di kalangan anak, remaja, pelajar
dan mahasiswa adalah sebuah ironi bagi dunia pendidikan. Baru saja kita
dikejutkan dengan tewasnya taruna Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP)
di tangan seniornya, kini kasus kekerasan ‘menular’ pada bocah SD.
Renggo
Khadafi, 11, siswa SDN 09 Makasar Jakarta Timur, Minggu (4/4) menemui
ajal akibat digebuki kakak kelasnya anak kelas V SD, hanya karena es
pisang seharga Rp1.000. Tahun lalu, tepatnya April 2013 di Bekasi
seorang bocah kelas I SD, Nur Afiz Kurniawan juga tewas dikeroyok
temannya gara-gara uang Rp1.000.
Kasus-kasus di atas hanyalah
sebagian dari deretan peristiwa kekerasan dengan pelaku dan korbannya
pelajar. Belum lagi kasus lainnya, tawuran misalnya, yang juga kerap
merenggut nyawa pelajar. Masih segar dalam ingatan kita peristiwa kelam
di Sukabumi tahun silam, dimana 4 siswa SMK Pertanian Sukabumi tewas
tenggelam dan dua lainnya dibacok setelah dikejar-kejar pelajar dari
sekolah lain.
Apakah ada yang salah dalam sistem pendidikan kita ?
Aksi yang dilakukan anak-anak dan remaja belakangan ini seperti di luar
nalar karena bukan lagi kenakalan biasa, melainkan menjurus ke aksi
kriminal. Kita tidak perlu saling menuding, menyalahkan satu sama lain.
Pendidikan bagi anak adalah tanggungjawab bersama baik keluarga,
lingkungan tempat tinggal maupun sekolah.
Pendidikan dimulai pada
lingkungan terdekat, yakni keluarga. Karakter anak dibentuk dari dalam
rumah, orangtualah yang wajib mendidik, mengawasi dan membentengi anak
dari pengaruh negatif. Di luar rumah, anak berinteraksi dengan
lingkungan tempat tinggal, serta di sekolah tempatnya menimba ilmu
pengetahuan. Tapi bukan berarti sekolah lepas tangan pada pembentukan
karakter anak. Dan yang paling bertanggungjawab pada perkembangan
generasi muda di negeri ini adalah pemerintah.
Usia anak hingga
remaja adalah usia labil. Pada usia rawan itu anak mencari jatidiri,
pengakuan dan perhatian. Saatnya seluruh elemen masyarakat membuka mata
dan peduli pada fenomena kekerasan di kalangan generasi muda. **
Tidak ada komentar:
Posting Komentar